Sabtu, 28 Juli 2012

Kalian Begitu Memuja Dan Memaksakan Keindahan, Sehingga Kami Makin Tergusur, Tergerus Hingga Ke Lubang-Lubang Kota.


Setiap kali merencanakan beberapa aksi vandal, setiap kali pula kami harus meyakinkan diri untuk tidak selalu menggunakan parameter moral, norma, ataupun nilai-nilai adat, yang biasanya selalu saja dijadikan alasan pertama untuk menghakimi tentang sah atau tidaknya sebuah aksi. Alasan-alasan tentang keindahan dan ketertiban kota serta menjaga warisan leluhur, biasanya adalah poin pertama, dan bahkan utama, pembenaran untuk menjegal sebuah aksi vandal. Ah, apalah arti keindahan kota, jika kenyataan menunjukkan dengan gamblang bahwa di jutaan sudut kota terhampar koreng dan nanah. Mereka selalu mencoba menutupi luka dan kengerian ini dengan cara membangun gedung-gedung megah nan eksklusif, dengan tanaman-tanaman hias yang  hidup di dalam pot-pot besar yang berjarak dan terpisah dengan bumi, dengan penampakan toilet-toiletnya yang wangi namun berkarat pada setiap pondasi saluran-salurannya, dengan kaca-kacanya yang tebal dan berwarna-warni menyilaukan, dengan berita-berita, baliho, serta papan reklame besar tentang modernisasi peradaban, yang ternyata membuat manusianya semakin kedap dan berjarak satu sama lain. Persetan dengan keindahan kota!

Setiap kali saya bertemu dengan beberapa kawan yang so-called seniman ato artis, selalu saja perbincangan tentang pameran ato exhibition akan muncul ke permukaan. Dan tentu saja mereka selalu punya list panjang tentang galeri-galeri seni. Maka setiap kali pula saya akan menyangkal dan berargumen panjang bahwa saya bukan seniman dan tidak berniat untuk menjadi seniman. Bahkan saya tidak tahu dan tidak peduli pada seni. Jika kemudian saya berkarya dan menghasilkan sesuatu, karya itu lebih saya fungsikan sebagai satu media buat saya berkomunikasi dan berbagi, membuka celah-celah kemungkinan baru, dan ketemu sama banyak orang. Saya bukan tipe-tipe exhibitionist, yang suka pamer, apalagi sekedar pameran di galeri. Jika saya butuh untuk merilis atau mengumumkan karya saya, saya punya list lebih banyak lagi galeri-galeri. Galeri-galeri saya tersebar mulai dari depan pintu kamar mandi saya, di sepanjang jalanan, hingga sisi depan pintu-pintu rumah kalian. Persetan dengan galeri seni. Jikapun saya butuh galeri, bagi saya setiap ruang selalu memiliki kemungkinan untuk menjadi galeri.

Saya teringat, ketika sedang bersama teman lama saya, kami melewati seputaran jalan yang penuh dengan baliho besar dan umbul-umbul tentang seorang istri walikota yang sibuk mencalonkan diri menjadi walikota berikutnya, demi sebuah warisan kekuasaan, dan kamu, teman saya ini, ribut tentang baliho dan spanduk yang menyesakkan jalan itu. Terutama adalah isinya, yang kamu bilang sangat bohong besar, bahwa ide tentang warisan dan dinasti kekuasaan itu sangat bodoh dan salah, salah orang maksud kamu. Oke, saya sepakat, sangat sepakat, dengan catatan besar bahwa bukan saja ide tentang orangnya ato person yang ditampilkan di baliho itu yang salah, tapi justru ide tentang kekuasaan itu yang bodoh, salah besar, dan sangat berbahaya, apalagi jika kemudian dipaksakan untuk menjadi satu ke-dinasti-an. Dan kamu tidak pernah meributkan spanduk, baliho, umbul-umbul, jutaan flyer, brosur, dan poster yang menghujani kota ini dengan logo ato brand produk perusahaan dimana kamu bekerja. Ada yang aneh dengan cara berpikir kamu, kawan. Buat saya semua hal tersebut adalah sampah, entah keluar dari mulut walikota ato dari dubur perusahaanmu. Kamu sama saja dengan mereka: merubah kota ini jadi semakin plastik, sangat sulit diurai, hambar dan berbahaya bagi kehidupan. Dan jika kamu berpikir untuk dapat melumuri kota ini dengan jutaan sampah dari perusahaanmu, bukan dengan sampah dari dinasti kekuasaan itu, maka saya berpikir bahwa kita memang hidup di dalam sebuah keranjang sampah maha besar, sehingga saya dan kawan-kawan saya berhak juga untuk menghiasi permukaan kota ini dengan sampah-sampah dan sumpah serapah kami.

Saya selalu berpikir alangkah menyenangkan berjalan-jalan, menikmati suasana di Bronx seperti yang ditampilkan di film-film ato di tv, dengan aroma keringat para penghuninya, dengan aura aktivitas kulturalnya, dengan banyak sekali coretan serta ekspresi kegelisahannya yang sangat menggugah. Atau juga di beberapa sudut ato ruas jalan-jalan di Jogjakarta, dengan begitu banyak coretan dan tag grafiti, stensil, ato poster-poster lucu, serasa begitu semarak, begitu hidup. Dan hidup ini harusnya sederhana, sangat sederhana, sesederhana mencoretkan tag nama orang yang kita sayangi di tembok-tembok tua tak berpenghuni. Orang-orang sok suci yang membangun tempat ibadah di atas beton itulah yang membuat segalanya menjadi begitu ribet, berbelit dan mengerikan. Atas nama keindahan dan kemegahan kota mereka selalu sibuk membangun patung dan candi-candi peradaban. Tidakkah kalian paham, peradaban dan cara kalian membangunnya sama sekali tidak menyenangkan. Sehingga semakin banyak yang harus digusur, semakin banyak yang terus tergerus, menyingkir dan disingkirkan dari permukaan kota.

Saya, kami, tidak begitu peduli lagi dengan keindahan kota, yang dikuratori oleh kurator-kurator mahal nan culas, yang keindahannya hanya dapat dinikmati di dalam galeri-galeri berbayar, palsu, dan semakin menjauhkan manusia dari kehidupan. Kami butuh hidup dan bernafas. Kami butuh untuk bersuara. Jika suatu waktu vandal dan ekspresi kami mengganggu keindahan kota kalian, sesederhana itulah cara berpikir kami tentang vandalisme bertopeng keindahan kota yang kalian paksakan kepada kami. Dan bukankah bangunan-bangunan yang menopang peradaban kalian ini sebenarnya hanyalah benda-benda mati belaka?! Di sinilah, insureksi dan penghancuran menjadi tendensi. Bandingkan dengan jutaan nyawa dan kehidupan yang harus menjadi tumbal bagi pondasi peradaban hari ini. Sangat tidak setimpal, sangatlah tidak adil.

Dan semua ini bukan lagi perkara moral tentang benar atau salah, hanya saja kami memang harus membalas. Sama sekali bukan perkara tentang keindahan, hanya saja kami harus terus bersuara, kami berhak merasakan kebahagiaan atas kehidupan ini. Sesederhana itulah hidup harian saya, kami, dan banyak lagi orang-orang dengan keresahan yang sama, di atas permukaan planet yang sama ini. Kami cuma ingin berbahagia, bersenang-senang, sangat sederhana, kenapa kalian bikin ini menjadi sulit sekali?!!!


Senin, 11 Juni 2012

Eh, Yang Normal Tu Yang Kayak Gimana Sih Sebenernya?!!

Setiap kali beraksi, dengan keluar dari kedok penyamarannya, sehingga dia mampu tampil sebagaimana adanya dirinya, superman terlihat selalu memakai celana dalamnya yang merah menyala itu di luar, melapisi celana panjang ketat birunya itu (sehingga 'sesuatu' yang menonjol di selangkangannya itu begitu menggoda ibu-ibu muda yang ditinggal kerja suaminya, yang sebenernya juga malah lagi sibuk cari selangkangan-selangkangan baru di kantor, di siang bolong agak gerimis di kota-kota terdekat yang kamu tau). Ini berbeda dengan ordinary-man, manusia-manusia biasa, yang selalu memakai celana dalamnya di dalam (karena dipake di dalam ini maka dinamakan celana dalam, bukan?!!..). Ketika sedang menyamar menjadi manusia biasa, manusia-manusia kebanyakan, toh superman juga selalu memakai celana dalamnya di dalam, bukan?!


Apakah kita yang selama ini sebenarnya telah keliru? Bahwa benda yang kita sebut sebagai celana dengan model potongan segi-tiga ato yang semacam itu seharusnya dipakainya di luar, seperti cara pakenya superman. Dan ternyata kita telah lama keliru dengan memakainya di dalam.

Minggu, 17 April 2011

Untuk Menjadikan Marx Suci Mereka Harus Menghapus Orang Yang Sebenarnya

                Laki-laki dengan kacamata rabunnya yang besar tersenyum, “Kita naik kereta api supaya bisa melihat bagaimana rakyat hidup. Apakah kau membawa serta makanan kaleng?”
                Laki-laki kecil bertubuh gemuk tertawa ramah, “Perutku ini payah. Makanan rakyat kita termasuk yang paling tidak higienis di planet ini. Di Barat, air yang mengalir jauh lebih bersih dibandingkan air mineral dalam botol di negara kita.”
                “Jadi sekarang ada kontradiksi,” yang mengenakan kacamata rabun besar dengan tajam mengolok-olok. “Kau ingin menikmati semua kesenangan yang diberikan oleh peradaban tanpa mau mengangkat jarimu untuk membangunnya!”
“Membangun peradaban sangatlah sulit. Tetapi tidak begitu dengan memberi jaminan kepada sejumlah kecil orang suatu kehidupan yang beradab. Mengapa? Karena tidak ada yang lebih mudah dari itu. Seperti kukatakan sebelumnya, peradaban adalah perjalanan panjang yang berat. Bagi orang yang seprimitif kita, menggunakan agama untuk menuntun mereka melewati jalan-jalan pintas menuju kemuliaan adalah ratusan kali lebih mudah daripada berusaha membuat mereka beradab.”
                Laki-laki berkacamata rabun mengedipkan matanya, “Bukankah itu agak sedikit sinis? Apa yang ingin kau katakan?”
                Laki-laki kecil tertawa terpekik-pekik. “Kebenaran mana yang tidak sinis?

Sabtu, 16 April 2011

Anti-Statis

Aha, pas bongkar-bongkar notes saya nemu tulisan ini. Lupa kalo pernah nulis ini, tanggal kapan saya nulisnya juga udah gak inget, gak kecatet. Tapi abis baca, saya bisa inget kejadiannya. Dan saya pikir lumayan juga buat dibagi, jadi saya ketik lagi deh..
* * * * *

Waktu jalan ke Kediri, pake bus antar-kota, malam-malam gitu, dua orang mbak-mbak di belakang kursi saya lagi rame. Sebenernya gak rame-rame juga sih, tapi saya denger suara mereka, jadinya saya nguping.. Hehee.. Rupanya mereka lagi curhat-curhat manis gitu. Dalam satu sesi curhatannya, si mbak yang satu cerita kalo cowoknya minta dia biar bisa lebih dinamis gitu. Haha.. Dinamis?? Ya rupanya si mbak ini ngerasa hari-harinya di Malang selama kuliah itu garing..hampa..

Ya gimana gak mau garing kalo sehari-hari acaranya cuma bangun tidur buat nongkrong di kelas tertutup liat dosen mengulang hal-hal yang sama selama bertahun-tahun, abis itu paling pergi ke kantin, basa-basi, ngomongin sinetron ato acara-acara tv yang lagi hip, trus pulang ke kos buat tidur. Ntar bangun lagi buat makan, nonton tv, trus tidur lagi, bangun lagi..tidur lagi..