Jumat, 03 Desember 2010

Mereka Berpikir Pake Pantat! (II)

Dari evaluasi kecil-kecilan panitia dan teman-teman lain di Garasi 337, didapat kesimpulan awal bahwa mereka, gerombolan massa itu, dinamakan saja: bonek!! Mengingat apa-apa yang nampak dari kelakuan mereka di lokasi pada saat aksi penyerbuan itu. Apalagi malam itu kebetulan di Stadion Tambaksari Surabaya juga ada konsernya Slank. Bonek-bonek suka sekali datang dan berkerumun di acara-acara konser besar semacam ini. Jadinya mudah saja mereka dikumpulkan, diprovokasi, ditarik ke satu titik dengan isu yang membakar. Ya namanya saja gerombolan massa!


Ini hal pertama yang bikin muak malam itu. Massa, budaya massa, massalisasi, memasalkan, whateverlah istilahnya, yang jelas kalau kita berhadapan dengan yang namanya massa akan susah ngomongnya. Gak jelas mana mulutnya, mana pantatnya. Semua nampak sama serupa. Mereka berpikir pake pantat!, kata si Angga.
Terutama massa yang membawa-bawa simbol-simbol SARA, seperti malam kemarin itu. Yang pada awalnya cuma masalah biasa dalam satu gig, orang kesenggol, senggol-senggolan pas pogo, dan harusnya bisa diselesaikan dalam gig itu juga, kok ya merembet begitu jauhnya ke masalah isu-isu bola rasial. Hal ini juga yang sebenarnya bikin males dan alergi kalau ngomong tentang bola. Sistem sepakbola industri begitu mudah diangkut ke isu-isu rasial dan gak penting. Padahal, sepakbola kan olah raga? Seperti halnya tinju, badminton, renang, senam, bahkan catur atau bridge. Iya kan? Olah raga kan?! Kok jadinya olah fisik??!

Hal ke dua adalah: aparat!! Kami memang gak berharap apa-apa dari aparat. Bahkan berharap supaya gak ada yang namanya aparat di muka bumi ini. Tapi malam itu satu bukti lagi bahwa aparat itu konyol, apalagi Satpol PP. Nampak sekali mereka itu cuma bekerja, beraksi, berdasarkan orderan. Bukan atas dasar tugas pengamanan, apalagi pengayoman atau perlindungan warga. Maksudnya, mereka ini cuma bekerja atas dasar komando atau orderan tertentu. Contohnya, tentang isu PKL, biasanya PKL di jalan-jalan juga biasa saja berjualan walaupun ada satu-dua Pol PP di sekitaran mereka. Baru kalau ada instruksi dari atasan untuk membersihkan jalan dari keberadaan PKL, mereka akan beraksi mengobrak-abrik para PKL itu, walaupun mungkin saja ada di antara PKL itu yang kebetulan adalah tetangga atau saudara Pol PP itu sendiri. Atau kalau ada baliho atau papan iklan yang sudah kadaluwarsa masa berlakunya di pinggir jalan, dibiarkan saja. Baru kalau ada perintah untuk dicopot dan dibersihkan, mereka mau bergerak.

Nah, malam itu memang semenjak sore ada terlihat beberapa Pol PP berseliweran di sekitaran gedung. Soalnya orderan mereka hari itu adalah untuk mengamankan acara pengajiannya Emha Ainun Nadjib, yang kebetulan diadakan di area gedung yang berbeda, tapi masih di kompleks Balai Pemuda juga. Pas kejadian penyerbuan itu, mereka juga jelas-jelas tahu tapi yang mereka lakukan cuma melihat-lihat seperti melihat tontonan gratis. Saya bisa paham bahwa tentunya mereka juga punya perhitungan sendiri atas situasi semacam ini. Tapi gak ada itu yang namanya inisiatif pengamanan. Baru setelah itu, setelah kami sibuk mengevakuasi diri dan barang-barang, mereka ini berdatangan. Sok pahlawan, ngasih instruksi ini-itu yang tipikal. Dan tentu saja, baru setelahnya ada terlihat polisi yang datang. Padahal, shownya udah bubar pak, anda telat sih..!!

Tentang malam itu, seperti kata si Zen, saya gak tahu mesti nangis apa ketawa.. Apa ketawa sampe nangis saja?? Hahahaa.. Huhuhuuuhh...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar