Sabtu, 11 Desember 2010

Judulnya, 'Tikus' Aja Wes...

Beberapa hari kemarin, pada akhirnya, saya berhasil menangkap seekor tikus via jebakan jepretan tikus yang, pada akhirnya juga, saya pasang di dalam bak cucian piring di dapur rumah saya.


Ceritanya, sudah beberapa minggu kemarin rupanya tikus ini berhasil membangun baraknya di sekitar pojokan di atas lemari di dapur saya. Tentu saja itu sangat mengganggu, mengingat ini adalah area dapur, dimana saya mengolah makanan-makanan saya. Pada dasarnya saya tidak berkeberatan untuk berbagi ruang dengan makhluk-makhluk hidup yang lain di rumah saya, termasuk juga tikus-tikus ataupun kecoak, asal mereka jangan suka berkeliaran di dapur, atau di kamar tidur saya saja.
Tapi yang namanya makhluk hidup, tentu saja makanan adalah sesuatu yang urgent dan merupakan prioritas. Awalnya saya bisa paham kenapa tikus ini memilih dapur sebagai sarangnya, namun lama-lama dia bikin mules juga. Kadang pas lagi asik masak, tiba-tiba tercium aroma khas dari tikus: pesing-pesing gimana gituw. Atau, saya yang biasanya memisahkan sampah di rumah saya menjadi dua bagian: organik dan an-organik, sampah organik yang berupa sisa olahan dapur biasanya saya tampung dulu di satu wadah khusus sebelum besoknya saya campurkan ke dalam bak yang lebih besar untuk diolah menjadi pupuk kompos, dan kadang tikus ini mengacak-acak wadah organik saya itu, menyeret-nyeret tulang ikan atau sisa sayuran menuju ke sarangnya, sehingga tentu saja mengotori rak piring dan sepanjang tembok yang menuju ke sarangnya. So, saya harus rajin mencuci piring-piring dari rak piring yang jadi kotor lagi itu.

Pada puncak kejengkelan saya, maka saya cari jebakan jepretan tikus, yang dapat secara otomatis menjepret dan mencekik tikus yang termakan jebakannya, yang saya ingat pernah saya simpan di gudang. Ketemu, dua buah jepretan. Saya pasang semuanya di lantai dapur saya. Sialnya, beberapa hari terpasang, tak terdengar jepretan itu berbunyi. Selidik punya selidik, si tikus ini rupanya tak suka turun sampai ke lantai, atau mungkin terlalu cemas untuk menjelajah lebih jauh dari sarangnya itu. Jadi dia ini lebih suka berkeliaran dan berburu makanannya di area-area yang agak jauh dari lantai, seperti lemari dan rak-rak piring atau di bak cucian piring.

Maka hari itu saya pindahkan sebuah jebakan ke dalam bak cucian piring. Umpannya istimewa: kepala ikan pindang goreng krenyes nyam-nyam!! Dan, itu adalah malam mujur saya, yang merupakan malam bejat sialan bagi si tikus. Hanya kira-kira dua jam setelah jebakan jepretan tikus itu saya tinggal, dia berbunyi keras sekali, disusul dengan suara keletak-keletuk kecil. Dugaan saya, saya menang! Dan tikus itu pasti sedang berduet, maksud saya berduel, dengan sakaratul maut sekarang.

Hampir satu jam, keletak-keletuk jepretan tikus itu belum berhenti. Rupanya dia tikus yang tangguh. Dan ini harus saya akui, beberapa hari kemudian, bahwa dia memang tikus yang tangguh. Terlalu tangguh!! Waktu saya liat ke dapur, anjing!, eh tikus! jebakan itu memang menangkap sesuatu, dan sesuatu itu memang seekor tikus. Tapi sayang tangkapannya agak meleset, jepretan itu cuma berhasil menangkap kaki belakang si tikus, kaki belakang sebelah kanan. Atas kedatangan saya tikus ini makin meronta-ronta berusaha melepaskan kakinya yang kecantol jepretan itu, atau dengan makin panik dia berusaha memanjat naik, mencoba keluar dari bak cucian piring.  Usaha yang sia-sia, selain menimbulkan bunyi-bunyian kemelotak yang tak kunjung usai-usai.

Maka pahamlah saya bahwa tikus ini tak akan segera mati. Tinggallah saya yang bingung mau saya apakan tikus yang kecantol kakinya ini. Mau saya getok kepalanya, seperti orang-orang memburu dan membunuh tikus, saya gak tega. Apalagi membayangkan cipratan atau leleran darahnya nanti yang akan membasahi rak cuci piring atau bak cucian piring saya, saya kuatir akan menjadi paranoid atau trauma akan darah, dan terutama menjadi jijik atau phobia terhadap bak cucian piring. Pikir punya pikir, akhirnya saya angkat saja jebakan jepretan tikus itu, tentu dengan tikus yang masih terjebak kakinya itu. Saya bawa keluar dan saya gantung di satu ranting di pohon di kebun kecil di belakang rumah saya. Saya pikir mungkin besok pagi dia sudah akan mati akibat pusing dan frustasi atas posisinya yang tergantung seperti itu, dan terutama akibat kedinginan di udara luar, tanpa baju tanpa selimut atau susu coklat panas, dan gak ada kawan-kawan untuk bercengkerama.

Besoknya, pagi, agak siangan dikit gitu, saya tengok lagi, dan anjing! eh tikus!, dia masih hidup!! Aah.. Saya tinggal saja dia, berharap nantinya juga akan mati. Paling tidak dia sekarang akan makin menderita akibat panas siang hari, dan tentu saja makin kelaparan, dan tetep tanpa kawan senasib sepenanggungan.

Hari ke dua, saya dapati si dia ini masih saja hidup. Posisinya masih tergantung, dan sesekali dengan kaki-kaki depannya yang lain yang lebih bebas berusaha berpegangan, mencoba memanjati jepretan tikus. Saya bilang padanya: You're great. Sangat tangguh!!

Dua hari dua malam, dia bertahan seperti itu. Sempat kepikiran untuk mencelupkannya saja ke dalam kolam kecil berisi kura-kura di belakang rumah saya, biar dia mati tenggelam, kehabisan nafas dalam air atau kaget karena ada kura-kura di sana. Tapi saya gak tega. Sumpah, saya gak setega itu. Lalu saya amati saja matanya yang belo', besar dan hitam itu, mencoba membaca apa yang ada di benaknya. tentu saja yang nampak adalah mata yang takut, gemetar, dan memohon. Duuh.. Saya makin gak tega..


Hari ke tiga, dia masih hidup juga. Sialan! Saya yakin dia masih hidup, soalnya perutnya masih kelihatan kembang-kempis tanda dia masih bernafas. Dan bernafas adalah salah satu ciri utama makhluk yang bisa dibilang hidup. Memang kali ini dia jarang melakukan gerakan-gerakan meronta-ronta, seperti saat dia pertama kali ketangkap kemarin, dia sekarang lebih banyak diam, mungkin tenaganya sudah mulai terkuras menuju habis. Saya lihat lebih dekat, gak ada kesan lucu-lucunya sama sekali kayak Mickey Mouse atau si Jerry di serial Tom & Jerry. Yang ini serem. Mungkin umurnya baru 2-3 bulan, panjang tubuhnya sekitar 10-an cm, total sama panjang ekornya kira-kira 20-25 cm. Warna bulunya hitam keabu-abuan sama agak-agak coklat gitu, teksturnya kasar. Sungutnya panjang-panjang. Bergerak-gerak mengikuti gerak hidungnya yang terus berusaha bernafas dengan panik. Pada ekornya yang menggelantung lemas dan di sekitar kelaminnya (eh, saya gak bisa membedakan dia ini cowok apa cewek deh, gak pernah tau beda bentuknya gimana kalo di tikus..), juga terutama di sekitar kaki yang luka dan masih terjepit. sudah ada semut-semut yang mengerubungi. Kasihan sekali dia, pasti rasanya perih, tersiksa sekali.

Saya bayangkan bagaimana seandainya para pencoleng, para koruptor di tv-tv itu diberi hukuman saja semacam ini. Bukan hukuman mati dengan cara instan, digantung seperti di Cina, atau dipenggal, atau disuntik mati. Tapi cuma digantung satu kaki, terserah kaki kiri atau kanan, dan sampai mati. Tanpa ada hukuman tambahan, seperti saya memperlakukan pada tikus ini. Biarkan tergantung satu kaki, terbalik begitu, sampai dia mati. Saya rasa dia pasti akan punya banyak sekali waktu untuk introspeksi, kontemplasi, belajar dari akibat kelakuannya sendiri. Eh, tapi buat apa dia belajar, kalo dia tahu toh nantinya juga akan mati?! Yaa, paling tidak dia akan benar-benar tahu apa artinya menyesal. Atau, kasih juga dia opsi: bila selama tergantung ternyata dia mampu membebaskan dirinya sendiri dari gantungan itu, maka dia boleh bebas. Dia yang akan menentukan waktu bagi dirinya sendiri. Saya rasa itu cukup adil.

Saya jadi ingat film SAW, dimana pada salah satu adegan di seri yang ke berapa gitu, ada tawanan atau korban yang dibelenggu salah satu kakinya. Dengan ancaman ada siksaan lebih lanjut bila dia tidak bisa lepas, dengan waktu yang dibatasi, dia akan berusaha, benar-benar berusaha, mati-matian membebaskan kakinya dari belenggu itu. Bahkan kalau itu harus berarti memotong sendiri kakinya itu. Saya rasa hukuman-hukuman semacam itu cukup setimpal untuk para pencoleng, koruptor, mengingat dia juga telah mengakibatkan banyak orang lain terbelenggu, bukan hanya kaki atau tangannya saja, namun juga seluruh hidup dan kehidupannya, sebelum niscaya mati pelan-pelan.

Nah lho, saya gak sedang mencoba untuk jadi moralis yang mendukung aksi ganyang koruptor ala pemerintahan. Lha saya aja gak suka ada yang namanya pemerintah... Cuma, saya juga gak suka aksi mencoleng, mencuri yang gak pada tempatnya, atau korupsi dan konco-konconya itu.

1 komentar:

  1. hiks hiks hiks...membunuh hama memang terkadang bagaikan dilema.....bahkan aku jg terpaksa mengusir kucing yang lagi asoy asoy nya numpang nyantai dikala panas terik siang hari di teras rumahku...cuma karena dia dan cees cees nya seneng banget bikin onar dan bikin berantakan pot pot tanaman di teras rumah, sampe sampe teras berserakan tanah...hiks hiks hiks...maafkan aku kucing........ :(

    BalasHapus